Kayu karet (rubberwood), yang dulunya hanya dianggap limbah kebun karet atau lateks, kini menjadi tulang punggung ekspor furniture Asia Tenggara seiring meningkatnya permintaan global akan kayu keras dengan harga terjangkau dan berkelanjutan.

Negara-negara Asia Tenggara, terutama Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, merupakan eksportir utama kayu karet.
Menurut data Trademap, tercatat Thailand meraup nilai ekspor lebih dari US$1,3 miliar dari produk kayu berbasis kayu karet pada 2024 dan volumenya terus naik. Pada tahun yang sama, Malaysia meraih 337 juta m³, dengan nilai sekitar US$155 juta, sedangkan Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai pengekspor produk kayu karet di Asia Tenggara (setelah Filipina) dengan memproduksi hingga 31 juta m³ kayu gergajian karet per tahun 2024 dengan nilai ekspor sekitar US$24 juta.
Vietnam yang dikenal lebih banyak impor bahan baku kayu, berada para urutan kelima dengan nilai ekspor produk kayu karet mencapai US$11 juta.
“Kayu karet telah berubah dari limbah menjadi sumber keuntungan,” ujar Nguyen Hoang Minh, seorang eksportir furniture di Binh Duong. “Warnanya terang, mudah dikerjakan, dan kini banyak bersertifikat sehingga diminati pembeli Eropa dan AS.”
Keunggulan lingkungan menjadi daya tarik utama material kayu karet. Pohon karet ditebang pada akhir masa produksi lateksnya (25–30 tahun) sehingga penebangan ini tidak membuka hutan baru.
Namun demikian, masih banyak tantangan dalam industri pasokan kayu karet, misalnya periode penebangannya yang musiman, koordinasi dengan petani kecil, serta biaya transportasi. Selain itu kajian jejak karbon di Malaysia misalnya, telah menunjukkan bahwa produksi kayu karet gergajian menghasilkan sekitar 53 kg CO₂ - eq per m³, yang memicu tuntutan efisiensi energi di penggergajian kayu.
Analis memperkirakan pasar furniture kayu karet global yang bernilai sekitar US$4,2 miliar pada 2024 akan meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2033, memperkuat posisinya sebagai kayu keras perkebunan terpenting bagi sektor furniture.
---

Negara-negara Asia Tenggara, terutama Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, merupakan eksportir utama kayu karet.
Menurut data Trademap, tercatat Thailand meraup nilai ekspor lebih dari US$1,3 miliar dari produk kayu berbasis kayu karet pada 2024 dan volumenya terus naik. Pada tahun yang sama, Malaysia meraih 337 juta m³, dengan nilai sekitar US$155 juta, sedangkan Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai pengekspor produk kayu karet di Asia Tenggara (setelah Filipina) dengan memproduksi hingga 31 juta m³ kayu gergajian karet per tahun 2024 dengan nilai ekspor sekitar US$24 juta.
Vietnam yang dikenal lebih banyak impor bahan baku kayu, berada para urutan kelima dengan nilai ekspor produk kayu karet mencapai US$11 juta.
“Kayu karet telah berubah dari limbah menjadi sumber keuntungan,” ujar Nguyen Hoang Minh, seorang eksportir furniture di Binh Duong. “Warnanya terang, mudah dikerjakan, dan kini banyak bersertifikat sehingga diminati pembeli Eropa dan AS.”
Keunggulan lingkungan menjadi daya tarik utama material kayu karet. Pohon karet ditebang pada akhir masa produksi lateksnya (25–30 tahun) sehingga penebangan ini tidak membuka hutan baru.
Namun demikian, masih banyak tantangan dalam industri pasokan kayu karet, misalnya periode penebangannya yang musiman, koordinasi dengan petani kecil, serta biaya transportasi. Selain itu kajian jejak karbon di Malaysia misalnya, telah menunjukkan bahwa produksi kayu karet gergajian menghasilkan sekitar 53 kg CO₂ - eq per m³, yang memicu tuntutan efisiensi energi di penggergajian kayu.
Analis memperkirakan pasar furniture kayu karet global yang bernilai sekitar US$4,2 miliar pada 2024 akan meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2033, memperkuat posisinya sebagai kayu keras perkebunan terpenting bagi sektor furniture.
---