Di balik semerbak aroma kayu dan dengung mesin CNC, ada satu pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan kita selalu siap menghasilkan tenaga kerja industri furniture kayu yang selalu berkembang dan kompetitif di pasar global?

Keberadaan pusat pendidikan dan pelatihan kayu merupakan faktor penting keberhasilan industri kayu.
Apakah institusi-institusi terkait pendidikan kayu di Indonesia memiliki misi dan visi yang sama, serta sejalan dengan strategi pasar furniture kayu nasional dan pasar global?
Pendidikan dan pelatihan bidang kayu menentukan kualitas tenaga kerja yang kelak menopang rantai industri perkayuan. Beberapa negara pengekspor produk kayu di Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam, Malaysia) sama-sama punya tradisi dan kapasitas industri kayu, namun memiliki pola pendidikan kayu yang berbeda.
Berikut ini adalah analisis singkat tentang kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan kayu di negara tersebut sesuai dengan yang kami amati selama beberapa tahun terakhir dan juga perbincangan singkat dengan alumni dari lembaga pendidikan terkait.
Indonesia — Lebih Banyak Sekolah, Belum Satu Arah
Indonesia memiliki jaringan yang cukup besar terkait pendidikan kayu, mulai dari SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), politeknik, dan beberapa pusat pelatihan yang menyediakan kursus pendidikan terkait kayu dan kehutanan. Ada juga sekolah kehutanan negeri yang menjadi titik fokus pelatihan teknis. Model ini menghasilkan basis SDM yang relatif besar untuk industri lokal.
Sebut saja SMK PIKA di Semarang yang sudah cukup lama dikenal sebagai ikon pendidikan furniture nasional. Dengan sistem “dual system” hasil adaptasi dari Jerman, PIKA menggabungkan pembelajaran di kelas dan praktik magang industri karena mereka memiliki bengkel kerja yang terintegrasi dengan area sekolah. Hasilnya? Lulusan PIKA banyak terserap di pabrik-pabrik mebel ekspor di Jepara, Semarang, Surabaya, Tangerang, dan bahkan luar negeri.
Di samping itu, ada Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu (Polifurneka) di Kendal, yang bernaung di bawah Kementerian Perindustrian, membawa semangat baru. Fokusnya bukan hanya keterampilan manual, tetapi juga rekayasa industri, efisiensi produksi, dan manajemen rantai pasokan (supply chain management). Kampus yang berada di kawasan industri ini memberi mahasiswa pengalaman langsung dalam proses manufaktur berskala besar.
Ada juga SMK Negeri 2 Jepara yang dikenal sebagai pusat pendidikan terkemuka untuk seni ukir di Indonesia. Sekolah ini berspesialisasi dalam melatih siswa menguasai teknik ukir tradisional dan modern, melestarikan warisan budaya Jepara sebagai "Kota Ukir".
Walaupun ada banyak sekolah kayu, namun bukan berarti tidak ada tantangan sama sekali. Masing-masing sekolah masih menggunakan kurikulum terpisah yang belum terstandardisasi, dan sebagian besar SMK belum memiliki mesin atau teknologi sekelas industri ekspor. Bahkan beberapa masih berfokus pada keterampilan dasar, sementara industri modern (CNC, IoT, desain dan perangkat lunak terbaru, kecerdasan buatan) menuntut keahlian berbeda.
Vietnam — Sedikit, Tapi Lebih Terarah
Vietnam menonjol karena pertumbuhan industrinya yang cepat dan orientasi ekspor yang kuat — khususnya sektor furniture kayu, yang saat ini menjadi eksportir produk kayu terbesar nomor 2 di dunia, setelah Tiongkok. Pencapaian ini tak lepas dari efisiensi sistem pendidikan dan pelatihan industri yang terkoordinasi.
Berbeda dengan Indonesia, di Vietnam institusi pendidikan kayu lebih sedikit, namun sepertinya jauh lebih terkoneksi dengan dunia industri. Perguruan tinggi atau sekolah vokasi berkolaborasi dengan perusahaan terkait industri kayu/importir. Mereka memiliki kelebihan dengan adanya program-program tingkat diploma di universitas teknik dan politeknik yang lebih sering dikaitkan langsung dengan kebutuhan perusahaan mebel, terutama di wilayah pusat industri mebel seperti Binh Duong.
Contohnya, ada Ho Chi Minh City University of Technology and Education (HCMUTE) yang menjalin kerja sama dengan Canadian Wood Vietnam untuk mengembangkan program Wood & Interior Technology Training. Kolaborasi ini menghadirkan riset, sertifikasi bahan berkelanjutan, dan pelatihan berbasis proyek industri.
Selain itu ada HAWA (Handicraft and Wood Industry Association) yang bekerjasama dengan HCMUTE menyelenggarakan pelatihan desain furniture digital, pemrograman CNC, dan pengelolaan produksi berbasis teknologi. Pelatihan-pelatihan tersebut berfungsi sebagai hub teknologi terapan untuk profesional furniture di Vietnam
Tetap saja masih memiliki kekurangan yang mirip dengan Indonesia, yaitu ketersediaan tenaga ahli untuk teknologi canggih yang masih terbatas, dan pengembangannya untuk meningkatkan kapasitas skala lebih besar membutuhkan banyak waktu.
Malaysia — Fokus Kualitas & Sertifikasi
Sementara di Malaysia, pendidikan kayu sangat terbatas, dan lebih diarahkan pada kualitas sumber daya dan standardisasi kompetensi.
Lembaga pendidikan seperti Wood Industry Skills Development Centre (WISDEC) di bawah Malaysian Timber Industry Board (MTIB) menjadi pusat unggulan pelatihan industri kayu hilir — mulai dari moulding, joinery, hingga finishing furniture. WISDEC menawarkan program berbasis sertifikasi yang diakui industri, dengan fasilitas modern di Selangor dan Sabah.
Pendekatan Malaysia walaupun berskala kecil, tetapi disiplin. Pemerintah, asosiasi, dan industri bekerja dalam satu sistem yang memastikan mutu pelatihan dan sertifikasi kompetensi teknis. Hasilnya: kualitas tenaga kerja relatif tinggi, meski volume industrinya tidak sebesar Indonesia atau Vietnam.
Kendala Malaysia adalah skala industri yang lebih kecil dibandingkan Indonesia dan Vietnam, sehingga jumlah lulusan mungkin tidak sebesar Indonesia, tetapi kualitas dan kecocokan kompetensi dengan kebutuhan industri kerap lebih baik. Selain itu, biaya tenaga kerja yang lebih tinggi mendorong investasi pada otomatisasi sehingga menuntut tingkat keterampilan lebih tinggi lagi dari tenaga kerja.
Pandangan ke depan
Indonesia lebih unggul soal jumlah institusi vokasi, tetapi perlu harmonisasi kualitas dan lebih banyak link ke industri modern. Sedangkan Vietnam cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri ekspor dan teknologi, namun perlu mempercepat pelatihan tenaga ahli untuk mesin dan proses modern.
Dengan nilai ekspor furniture mencapai lebih dari USD 14 miliar per tahun, keberhasilan Vietnam tidak lepas dari strategi pendidikan yang terintegrasi dengan industri.
Lalu, apa yang bisa dipelajari Indonesia dari sistem pendidikan kayu di negara tetangga khususnya Vietnam?
1. Kurikulum yang Didorong oleh Industri
Salah satu kekuatan utama Vietnam adalah kurikulum pendidikan kayu yang disusun bersama dengan pelaku industri. Misalnya Ho Chi Minh City University of Technology and Education bekerja sama dengan asosiasi seperti VIFOREST dan HAWA untuk merancang pelatihan sesuai kebutuhan pabrik ekspor.
Demikian pula dengan SMK PIKA Semarang dan Polifurneka Kendal yang dapat memperkuat kolaborasi mereka sebagai instansi pendidikan kayu dengan perusahaan furniture besar dan asosiasi terkait furniture kayu dan industri pendukung seperti ASMINDO, HIMKI agar kurikulum benar-benar mencerminkan kebutuhan industri modern dan memiliki standar dengan arah yang sama.
2. Pelatihan Praktis Jangka Pendek yang Efektif
Vietnam memiliki banyak pusat pelatihan keterampilan singkat, yang mengajarkan pengoperasian mesin CNC, teknik finishing, serta desain dan pengembangan furniture. Fokusnya adalah pelatihan yang praktis, cepat, dan langsung siap kerja.
Perlu dikembangkan lebih banyak pusat pelatihan regional furniture khususnya di sentra industri kayu seperti Jepara, Pasuruan, atau Cirebon untuk mempercepat peningkatan keterampilan tenaga kerja.

Pelatihan tentang bahan kayu berkelanjutan oleh pemasok bahan baku di Vietnam/img: Canadian Wood
3. Keterkaitan Erat dengan Industri Ekspor
Pendidikan kayu di Vietnam terhubung langsung dengan target ekspor nasional, di mana mahasiswa dan pelaku industri sering berbagi fasilitas, riset, hingga proyek kolaboratif. Hal ini membuat setiap lulusan universitas teknologi di Vietnam siap bekerja di sektor furniture global dengan teknologi terbaru.
Kebijakan pendidikan bisa diberikan oleh Kemendikbud, mungkin perlu lebih selaras dengan strategi ekspor nasional yang direncanakan oleh Kemenperin di Indonesia, agar pelatihan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga memperkuat daya saing produk ekspor.
4. Fokus pada Keberlanjutan dan Teknologi
Sekolah dan universitas di Vietnam telah mengadopsi pelatihan berbasis sertifikasi kayu legal, efisiensi material, serta teknologi digital seperti CAD/CAM dan CNC. Kurikulum ini mendukung kebutuhan pasar Eropa dan Amerika yang semakin ketat terhadap aspek keberlanjutan.
Kalaupun sudah diterapkan, institusi pendidikan kayu di Indonesia perlu selalu memperbarui kurikulum agar mencakup regulasi yang terbaru atau yang direvisi seperti EUDR, SVLK, dan revolusi industri yang saat ini lebih banyak otomasi produksi untuk memenuhi standar global. Penambahan pengajaran yang fokus pada keberlanjutan dan update teknologi harus menjadi subyek yang 'must-have', dan bukan lagi sekedar 'nice-to-have'.
5. Koordinasi secara Nasional
Vietnam memiliki sistem koordinasi nasional yang kuat dan efisien antara pemerintah, asosiasi, dan lembaga pendidikan. Hasilnya, tidak ada tumpang tindih program dan semua kegiatan pelatihan berjalan selaras menuju target industri furniture nasional.
Dengan banyaknya lembaga seperti SMK, Politeknik, dan BLK, Indonesia memerlukan peta jalan pendidikan kayu nasional yang terarah, agar program lebih efektif dan berdampak. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan koordinasi yang selaras oleh semua pihak.
Vietnam membuktikan bahwa kualitas, fokus, dan koordinasi lebih penting daripada sekadar jumlah lembaga. Indonesia memiliki potensi lebih besar, namun perlu memperkuat koneksi antara dunia pendidikan, industri, dan kebijakan nasional agar mampu bersaing lebih baik di pasar furniture global.
Saatnya Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Sebagai seorang profesional di bidang teknologi kayu dan bisnis industri kayu, saya melihat bahwa pendidikan kehutanan dan teknologi kayu di Indonesia perlu bergerak menuju pola kolaborasi yang lebih erat dan transparan. Saat ini, banyak institusi pendidikan masih terjebak dalam persaingan yang tidak perlu, terutama dalam hal menarik jumlah pelajar atau mahasiswa. Pola pikir semacam ini justru memecah sumber daya dan memperlambat terciptanya tenaga ahli yang benar-benar dibutuhkan industri kayu nasional.
Untuk mempercepat kemajuan, Indonesia memerlukan dukungan kebijakan dan koordinasi pemerintah yang mendorong kerja sama antarlembaga, mulai dari universitas, politeknik, sekolah vokasi, lembaga riset, hingga pelaku industri. Dengan menyatukan kurikulum, berbagi keahlian, serta mengintegrasikan pelatihan berbasis kebutuhan industri, kita dapat membangun rantai pasokan tenaga terampil yang lebih kuat dan relevan.
Pada akhirnya, tujuan utamanya sangat jelas: meningkatkan nilai tambah dan daya saing global produk kayu Indonesia. Ekosistem pendidikan yang terintegrasi, didukung kolaborasi industri, kebijakan pemerintah, serta inovasi teknologi, akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di pasar kayu dunia.
---

Keberadaan pusat pendidikan dan pelatihan kayu merupakan faktor penting keberhasilan industri kayu.
Apakah institusi-institusi terkait pendidikan kayu di Indonesia memiliki misi dan visi yang sama, serta sejalan dengan strategi pasar furniture kayu nasional dan pasar global?
Pendidikan dan pelatihan bidang kayu menentukan kualitas tenaga kerja yang kelak menopang rantai industri perkayuan. Beberapa negara pengekspor produk kayu di Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam, Malaysia) sama-sama punya tradisi dan kapasitas industri kayu, namun memiliki pola pendidikan kayu yang berbeda.
Berikut ini adalah analisis singkat tentang kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan kayu di negara tersebut sesuai dengan yang kami amati selama beberapa tahun terakhir dan juga perbincangan singkat dengan alumni dari lembaga pendidikan terkait.
Indonesia — Lebih Banyak Sekolah, Belum Satu Arah
Indonesia memiliki jaringan yang cukup besar terkait pendidikan kayu, mulai dari SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), politeknik, dan beberapa pusat pelatihan yang menyediakan kursus pendidikan terkait kayu dan kehutanan. Ada juga sekolah kehutanan negeri yang menjadi titik fokus pelatihan teknis. Model ini menghasilkan basis SDM yang relatif besar untuk industri lokal.
Sebut saja SMK PIKA di Semarang yang sudah cukup lama dikenal sebagai ikon pendidikan furniture nasional. Dengan sistem “dual system” hasil adaptasi dari Jerman, PIKA menggabungkan pembelajaran di kelas dan praktik magang industri karena mereka memiliki bengkel kerja yang terintegrasi dengan area sekolah. Hasilnya? Lulusan PIKA banyak terserap di pabrik-pabrik mebel ekspor di Jepara, Semarang, Surabaya, Tangerang, dan bahkan luar negeri.
Di samping itu, ada Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu (Polifurneka) di Kendal, yang bernaung di bawah Kementerian Perindustrian, membawa semangat baru. Fokusnya bukan hanya keterampilan manual, tetapi juga rekayasa industri, efisiensi produksi, dan manajemen rantai pasokan (supply chain management). Kampus yang berada di kawasan industri ini memberi mahasiswa pengalaman langsung dalam proses manufaktur berskala besar.
Ada juga SMK Negeri 2 Jepara yang dikenal sebagai pusat pendidikan terkemuka untuk seni ukir di Indonesia. Sekolah ini berspesialisasi dalam melatih siswa menguasai teknik ukir tradisional dan modern, melestarikan warisan budaya Jepara sebagai "Kota Ukir".
Walaupun ada banyak sekolah kayu, namun bukan berarti tidak ada tantangan sama sekali. Masing-masing sekolah masih menggunakan kurikulum terpisah yang belum terstandardisasi, dan sebagian besar SMK belum memiliki mesin atau teknologi sekelas industri ekspor. Bahkan beberapa masih berfokus pada keterampilan dasar, sementara industri modern (CNC, IoT, desain dan perangkat lunak terbaru, kecerdasan buatan) menuntut keahlian berbeda.
Vietnam — Sedikit, Tapi Lebih Terarah
Vietnam menonjol karena pertumbuhan industrinya yang cepat dan orientasi ekspor yang kuat — khususnya sektor furniture kayu, yang saat ini menjadi eksportir produk kayu terbesar nomor 2 di dunia, setelah Tiongkok. Pencapaian ini tak lepas dari efisiensi sistem pendidikan dan pelatihan industri yang terkoordinasi.
Berbeda dengan Indonesia, di Vietnam institusi pendidikan kayu lebih sedikit, namun sepertinya jauh lebih terkoneksi dengan dunia industri. Perguruan tinggi atau sekolah vokasi berkolaborasi dengan perusahaan terkait industri kayu/importir. Mereka memiliki kelebihan dengan adanya program-program tingkat diploma di universitas teknik dan politeknik yang lebih sering dikaitkan langsung dengan kebutuhan perusahaan mebel, terutama di wilayah pusat industri mebel seperti Binh Duong.
Contohnya, ada Ho Chi Minh City University of Technology and Education (HCMUTE) yang menjalin kerja sama dengan Canadian Wood Vietnam untuk mengembangkan program Wood & Interior Technology Training. Kolaborasi ini menghadirkan riset, sertifikasi bahan berkelanjutan, dan pelatihan berbasis proyek industri.
Selain itu ada HAWA (Handicraft and Wood Industry Association) yang bekerjasama dengan HCMUTE menyelenggarakan pelatihan desain furniture digital, pemrograman CNC, dan pengelolaan produksi berbasis teknologi. Pelatihan-pelatihan tersebut berfungsi sebagai hub teknologi terapan untuk profesional furniture di Vietnam
Tetap saja masih memiliki kekurangan yang mirip dengan Indonesia, yaitu ketersediaan tenaga ahli untuk teknologi canggih yang masih terbatas, dan pengembangannya untuk meningkatkan kapasitas skala lebih besar membutuhkan banyak waktu.
Masa depan industri kayu tak hanya ditentukan oleh bahan baku, tetapi oleh kualitas manusia yang mengolahnya.
Malaysia — Fokus Kualitas & Sertifikasi
Sementara di Malaysia, pendidikan kayu sangat terbatas, dan lebih diarahkan pada kualitas sumber daya dan standardisasi kompetensi.
Lembaga pendidikan seperti Wood Industry Skills Development Centre (WISDEC) di bawah Malaysian Timber Industry Board (MTIB) menjadi pusat unggulan pelatihan industri kayu hilir — mulai dari moulding, joinery, hingga finishing furniture. WISDEC menawarkan program berbasis sertifikasi yang diakui industri, dengan fasilitas modern di Selangor dan Sabah.
Pendekatan Malaysia walaupun berskala kecil, tetapi disiplin. Pemerintah, asosiasi, dan industri bekerja dalam satu sistem yang memastikan mutu pelatihan dan sertifikasi kompetensi teknis. Hasilnya: kualitas tenaga kerja relatif tinggi, meski volume industrinya tidak sebesar Indonesia atau Vietnam.
Kendala Malaysia adalah skala industri yang lebih kecil dibandingkan Indonesia dan Vietnam, sehingga jumlah lulusan mungkin tidak sebesar Indonesia, tetapi kualitas dan kecocokan kompetensi dengan kebutuhan industri kerap lebih baik. Selain itu, biaya tenaga kerja yang lebih tinggi mendorong investasi pada otomatisasi sehingga menuntut tingkat keterampilan lebih tinggi lagi dari tenaga kerja.
Pandangan ke depan
Indonesia lebih unggul soal jumlah institusi vokasi, tetapi perlu harmonisasi kualitas dan lebih banyak link ke industri modern. Sedangkan Vietnam cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri ekspor dan teknologi, namun perlu mempercepat pelatihan tenaga ahli untuk mesin dan proses modern.
Dengan nilai ekspor furniture mencapai lebih dari USD 14 miliar per tahun, keberhasilan Vietnam tidak lepas dari strategi pendidikan yang terintegrasi dengan industri.
Lalu, apa yang bisa dipelajari Indonesia dari sistem pendidikan kayu di negara tetangga khususnya Vietnam?
1. Kurikulum yang Didorong oleh Industri
Salah satu kekuatan utama Vietnam adalah kurikulum pendidikan kayu yang disusun bersama dengan pelaku industri. Misalnya Ho Chi Minh City University of Technology and Education bekerja sama dengan asosiasi seperti VIFOREST dan HAWA untuk merancang pelatihan sesuai kebutuhan pabrik ekspor.
Demikian pula dengan SMK PIKA Semarang dan Polifurneka Kendal yang dapat memperkuat kolaborasi mereka sebagai instansi pendidikan kayu dengan perusahaan furniture besar dan asosiasi terkait furniture kayu dan industri pendukung seperti ASMINDO, HIMKI agar kurikulum benar-benar mencerminkan kebutuhan industri modern dan memiliki standar dengan arah yang sama.
2. Pelatihan Praktis Jangka Pendek yang Efektif
Vietnam memiliki banyak pusat pelatihan keterampilan singkat, yang mengajarkan pengoperasian mesin CNC, teknik finishing, serta desain dan pengembangan furniture. Fokusnya adalah pelatihan yang praktis, cepat, dan langsung siap kerja.
Perlu dikembangkan lebih banyak pusat pelatihan regional furniture khususnya di sentra industri kayu seperti Jepara, Pasuruan, atau Cirebon untuk mempercepat peningkatan keterampilan tenaga kerja.

Pelatihan tentang bahan kayu berkelanjutan oleh pemasok bahan baku di Vietnam/img: Canadian Wood
3. Keterkaitan Erat dengan Industri Ekspor
Pendidikan kayu di Vietnam terhubung langsung dengan target ekspor nasional, di mana mahasiswa dan pelaku industri sering berbagi fasilitas, riset, hingga proyek kolaboratif. Hal ini membuat setiap lulusan universitas teknologi di Vietnam siap bekerja di sektor furniture global dengan teknologi terbaru.
Kebijakan pendidikan bisa diberikan oleh Kemendikbud, mungkin perlu lebih selaras dengan strategi ekspor nasional yang direncanakan oleh Kemenperin di Indonesia, agar pelatihan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga memperkuat daya saing produk ekspor.
4. Fokus pada Keberlanjutan dan Teknologi
Sekolah dan universitas di Vietnam telah mengadopsi pelatihan berbasis sertifikasi kayu legal, efisiensi material, serta teknologi digital seperti CAD/CAM dan CNC. Kurikulum ini mendukung kebutuhan pasar Eropa dan Amerika yang semakin ketat terhadap aspek keberlanjutan.
Kalaupun sudah diterapkan, institusi pendidikan kayu di Indonesia perlu selalu memperbarui kurikulum agar mencakup regulasi yang terbaru atau yang direvisi seperti EUDR, SVLK, dan revolusi industri yang saat ini lebih banyak otomasi produksi untuk memenuhi standar global. Penambahan pengajaran yang fokus pada keberlanjutan dan update teknologi harus menjadi subyek yang 'must-have', dan bukan lagi sekedar 'nice-to-have'.
5. Koordinasi secara Nasional
Vietnam memiliki sistem koordinasi nasional yang kuat dan efisien antara pemerintah, asosiasi, dan lembaga pendidikan. Hasilnya, tidak ada tumpang tindih program dan semua kegiatan pelatihan berjalan selaras menuju target industri furniture nasional.
Dengan banyaknya lembaga seperti SMK, Politeknik, dan BLK, Indonesia memerlukan peta jalan pendidikan kayu nasional yang terarah, agar program lebih efektif dan berdampak. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan koordinasi yang selaras oleh semua pihak.
Vietnam membuktikan bahwa kualitas, fokus, dan koordinasi lebih penting daripada sekadar jumlah lembaga. Indonesia memiliki potensi lebih besar, namun perlu memperkuat koneksi antara dunia pendidikan, industri, dan kebijakan nasional agar mampu bersaing lebih baik di pasar furniture global.
Saatnya Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Sebagai seorang profesional di bidang teknologi kayu dan bisnis industri kayu, saya melihat bahwa pendidikan kehutanan dan teknologi kayu di Indonesia perlu bergerak menuju pola kolaborasi yang lebih erat dan transparan. Saat ini, banyak institusi pendidikan masih terjebak dalam persaingan yang tidak perlu, terutama dalam hal menarik jumlah pelajar atau mahasiswa. Pola pikir semacam ini justru memecah sumber daya dan memperlambat terciptanya tenaga ahli yang benar-benar dibutuhkan industri kayu nasional.
Untuk mempercepat kemajuan, Indonesia memerlukan dukungan kebijakan dan koordinasi pemerintah yang mendorong kerja sama antarlembaga, mulai dari universitas, politeknik, sekolah vokasi, lembaga riset, hingga pelaku industri. Dengan menyatukan kurikulum, berbagi keahlian, serta mengintegrasikan pelatihan berbasis kebutuhan industri, kita dapat membangun rantai pasokan tenaga terampil yang lebih kuat dan relevan.
Pada akhirnya, tujuan utamanya sangat jelas: meningkatkan nilai tambah dan daya saing global produk kayu Indonesia. Ekosistem pendidikan yang terintegrasi, didukung kolaborasi industri, kebijakan pemerintah, serta inovasi teknologi, akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di pasar kayu dunia.
---