Jalan Panjang Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Furniture Kayu

Mengapa Furniture Ekspor Indonesia Lebih Mahal dari Vietnam, dan Bagaimana Strategi untuk Bersaing Lebih Baik?

Industri furniture Indonesia sering dipuji karena kualitas, desain, dan kekayaan material kayu lokal yang berlimpah. Dari Jepara dengan ukiran klasiknya hingga Pasuruan dengan furniture modern, Indonesia memiliki identitas kuat dalam peta furniture dunia. Namun, ada pertanyaan yang sering muncul di kalangan pelaku industri: mengapa harga ekspor furniture Indonesia relatif lebih mahal dibanding Vietnam, padahal Indonesia punya bahan baku kayu sendiri?

perjalanan furniture kayu
Perjalanan furniture di Indonesia melalui banyak jalur berliku dengan banyak 'pos kecil' pungutan informal

Jawabannya terletak pada struktur industri, rantai pasok, dan strategi ekspor. Dan satu hal yang mungkin tidak begitu banyak diperhitungkan, tapi memberi pengaruh cukup berarti pada daya saing, yaitu mengenai kondusifitas lingkungan bisnis selama aktivitas produksi.


Vietnam: Jaringan Pemasok Global

Vietnam tumbuh menjadi eksportir furniture nomor dua dunia setelah Tiongkok. Rahasianya adalah model sourcing global. Hampir 80–90% bahan baku kayu untuk furniture Vietnam justru berasal dari impor: dari AS (kayu Oak, Ash, Walnut), Eropa (kayu Beech, Pinus), Afrika (kayu Sapelli, Okoume), hingga Selandia Baru (kayu Pinus Radiata), dan hanya kayu Akasia serta spesies kecil lainnya yang berasal dari hutan di Vietnam.

Dengan jejaring pemasok global, Vietnam bisa memilih bahan baku sesuai tren dan harga termurah di pasar dunia. Ditambah dengan skala produksi besar di kawasan industri seperti Binh Duong dan Dong Nai di Vietnam bagian Selatan, atau Qui Nhon di bagian Tengah, Vietnam mampu menekan biaya, meningkatkan efisiensi, dan melayani order dalam volume besar.

Hasilnya, produk furniture kayu Vietnam menjadi lebih kompetitif di pasar Amerika Serikat dan Eropa, bahkan sering kali menjadi alternatif pengganti furniture Tiongkok, terutama setelah perang dagang peningkatan tarif resiprokal.


Indonesia: Banyak Kayu Lokal, Harga Premium

Berbeda dengan Vietnam, Indonesia lebih banyak menggunakan kayu lokal dari hutan alam maupun hutan tanaman (kayu Mindi, Sungkai, Akasia, Karet, Albasia, Jati, dan Mahoni). Ketersediaan ini memang jadi keunggulan, tetapi juga memiliki konsekuensi.

1. Regulasi legalitas kayu (misalnya SVLK) turut berkontribusi dalam peningkatan biaya produksi.
2. Skala produksi masih banyak berbasis UMKM dan pengrajin, belum sebesar industrialisasi Vietnam yang pabriknya rata-rata berukuran besar.
3. Biaya tenaga kerja relatif lebih tinggi, ditambah infrastruktur logistik yang masih mahal.

Indonesia akhirnya lebih dikenal sebagai produsen furniture kayu solid dengan citra premium, bukan mass production yang efisien. Akibatnya, harga ekspor relatif lebih tinggi.

Selain itu, terdapat satu perbedaan yang cukup kontras dalam hal kondusifitas lingkungan bisnis kalau kita bandingkan Indonesia dengan Vietnam. Di Indonesia, banyak pelaku industri furniture kayu (baik produsen bahan baku maupun eksportir) sering mengeluhkan “biaya-biaya tak resmi” yang menambah cost produksi. Ini bagian dari faktor kondusifitas yang kurang mendukung dan nyata.

Beberapa contoh konkret di lapangan, misalnya:

1. Pungutan dari Ormas/Kelompok Lokal
Di beberapa daerah penghasil kayu atau cluster pabrik furniture, perusahaan sering mendapat “permintaan sumbangan” atau pungutan dari ormas/kelompok masyarakat.

2. Biaya Perjalanan Bahan Baku & Produk
Kayu gelondongan dari hutan menuju pabrik atau tempat pemrosesan sering melewati banyak pos pemeriksaan informal, yang sebenarnya tidak ada dalam regulasi, tapi secara praktik menambah biaya operasional.

Kemudian saat produk barang ekspor berada dalam perjalanan menuju pelabuhan, ada tambahan biaya tidak resmi yang harus dibayar supir atau perusahaan logistik. Selain itu, kadang ada 'tambahan biaya' agar proses lebih cepat untuk memuat kontainer di pelabuhan, yang membuat lead time menjadi tidak bisa direncanakan dengan baik.

Kondisi di atas sangat bertentangan dengan Vietnam yang berhasil menciptakan lingkungan ekspor yang kondusif. Seluruh kawasan industri dilengkapi dengan sistem logistik satu pintu dengan biaya resmi dan transparan. Serta pemerintah yang proaktif menghapus pungutan liar karena mereka ingin menjaga kepercayaan buyer global.

pabrik kayu berskala besar di Vietnam
Vietnam memiliki kawasan industri yang terintegrasi dengan pabrik modern berskala besar


Tabel Perbandingan Indonesia vs Vietnam (Industri Furniture Ekspor)

Aspek Indonesia Vietnam
Sumber Bahan Baku Mayoritas kayu lokal (Jati, Mindi, Sungkai, Karet, Albasia).
Impor kayu sangat terbatas.
Mayoritas kayu impor (Oak, Ash, Walnut, Beech, Birch).
Fleksibel memilih sesuai tren & harga.
Skala Industri Banyak UMKM & pengrajin, pabrik menengah. Industrialisasi terbatas. Pabrik besar & modern, cluster industri (Binh Duong, Dong Nai) dengan ribuan unit produksi.
Jenis Produk Furniture kayu solid wood, ukiran, desain premium, handmade. Furniture kayu solid & panel (MDF, plywood), produksi masal, gaya modern-minimalis.
Legalitas & Sertifikasi Wajib SVLK/FLEGT, sebagian FSC. Biaya sertifikasi menambah harga. Mengikuti standar buyer, sebagian FSC, tapi fleksibel. Sertifikasi tidak selalu wajib di semua lini.
Biaya Produksi Lebih tinggi (tenaga kerja, biaya logistik, sertifikasi). Relatif lebih rendah karena produksi berskala besar, biaya logistik efisien, bahan baku fleksibel.
Buyer Utama AS, Jepang, Belanda, Prancis, Belgia. AS, UK, Jepang, Kanada, Australia.



Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

Agar industri furniture Indonesia bisa lebih kompetitif, ada beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan, yang mana diperlukan kerjasama yang erat antara pelaku bisnis manufaktur, pemasok, dan buyer secara global, antara lain:

Diversifikasi Sumber Bahan Baku
Meskipun kayu lokal melimpah, Indonesia perlu membuka akses bahan baku alternatif lewat impor terbatas, khususnya jenis kayu subtropis yang diminati pasar global (kayu Oak, Beech, Pinus) yang akan menambah fleksibilitas harga dan desain.

Mendorong Skala Industri
Cluster industri seperti Jepara, Cirebon, dan Pasuruan perlu didorong ke arah industrialisasi modern. Pabrik besar dengan teknologi otomatisasi bisa berjalan berdampingan dengan UKM pengrajin, menciptakan ekosistem efisien seperti di Vietnam.

Efisiensi Rantai Pasok & Logistik
Salah satu keluhan eksportir adalah biaya kontainer, pelabuhan, dan pengiriman domestik yang lebih mahal dibanding Vietnam. Pemerintah dan asosiasi perlu menekan biaya logistik melalui integrasi transportasi laut-darat dan kebijakan ekspor yang lebih ramah industri.

Pengembangan Produk Non-Kayu Solid
Pasar global tidak hanya mencari kayu solid, tetapi juga furniture berbasis panel (MDF, particle board, plywood) yang lebih terjangkau. Indonesia bisa memperluas lini produk ini tanpa meninggalkan identitas furniture kayu solid. Dan di sisi lain, Indonesia memiliki daya saing cukup kuat untuk segmen ini karena memiliki sumber bahan kayu lapis yang cukup melimpah.

Branding dan Nilai Tambah Desain
Bersaing pada harga saja tidaklah cukup, Indonesia harus bisa membangun dan menekankan branding furniture sebagai produk dengan desain premium, ramah lingkungan, dan bersertifikasi legal. Pasar Eropa dan Jepang sangat menghargai aspek ini, dan Vietnam tidak terlalu kuat pada bagian R&D (Research and Development) produk.

Kolaborasi dengan Buyer Global
Vietnam kuat karena menjadi mitra jangka panjang merek besar seperti IKEA, Ashley, Walmart. Buyer global tersebut memiliki kantor perwakilan di Vietnam lengkap dengan tim penuh yang terlibat dalam setiap aspek pengembangan bisnis. Bahkan di antaranya juga membangun lini produksi sendiri dengan bermitra secara ekslusive dengan manufaktur furniture.

Indonesia perlu membuka diri untuk lebih agresif menarik buyer global melalui kemitraan strategis dan insentif investasi. Untuk mencapainya, diperlukan tindakan nyata dan strategis, khususnya terhadap biaya-biaya yang seharusnya tidak ada, untuk menurunkan kesenjangan harga dan meningkatkan volume ekspor. Dan tidak kalah pentingnya untuk memperluas diversifikasi bahan baku, industrialisasi skala besar, efisiensi logistik, dan branding sebagai prioritas.

Dengan langkah tepat, bukan hal yang mustahil bagi Indonesia untuk bisa mengimbangi bahkan melampaui Vietnam, bukan hanya sebagai eksportir furniture kayu, tetapi juga sebagai pusat desain dan produksi furniture berkelanjutan di dunia.

Di tahun 2024, nilai ekspor produk kayu Vietnam mencapai lebih dari 15 Milyar US$, dan pada semester pertama tahun 2025 telah mencapai 8 Milyar US$. Hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Sedangkan nilai ekspor produk kayu dari Indonesia pada tahun 2024 sekitar 2 Milyar US$, tidak lebih dari 15% dari total ekspor produk kayu Vietnam.

perbandingan nilai ekspor produk kayu Vietnam dan Indonesia
Amerika Serikat merupakan pasar produk kayu yang dominan bagi Vietnam dan Indonesia

Eko HIDAYAT

Profesional dalam industri kayu dan bisnis terkait furniture | Founder tentangkayu.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama