Indonesia Menilai EUDR Belum Layak Diterapkan

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa regulasi baru Uni Eropa terkait pencegahan deforestasi, yaitu European Union Deforestation Regulation (EUDR), masih sulit untuk diterapkan secara adil dan efektif bagi negara-negara produsen komoditas seperti Indonesia.

log with EUDR
Implementasi teknologi lacak balak kayu perlu segera dilakukan untuk menghadapi EUDR

Regulasi ini dinilai berpotensi memberatkan jutaan petani kecil, khususnya di sektor produk kayu, kopi, kelapa sawit, dan karet, yang menjadi tumpuan ekspor Indonesia ke pasar Eropa.

Menurut pernyataan Muhammad Takdir, pejabat senior perwakilan Indonesia untuk Uni Eropa, seperti yang dikutip oleh Financial Times, persyaratan dalam EUDR terlalu kompleks dan memberatkan, khususnya dalam hal penyediaan data geolokasi titik asal lahan produksi serta dokumen legalitas bebas deforestasi. Indonesia bahkan memperingatkan adanya risiko kekacauan administratif dan ekonomi jika regulasi ini dipaksakan dalam waktu dekat, tanpa adanya masa transisi yang lebih realistis.

Pemerintah Indonesia telah meminta kepada Uni Eropa untuk menunda penerapan penuh EUDR hingga tahun 2028, guna memberi waktu lebih bagi negara-negara produsen menyiapkan sistem pelacakan dan administrasi yang memadai. Saat ini, Indonesia memiliki jutaan petani kecil yang belum terbiasa dengan sistem digitalisasi data lahan, apalagi untuk memenuhi standar pelaporan yang ketat seperti yang diatur dalam EUDR.

Regulasi EUDR sendiri mewajibkan seluruh produk hasil hutan dan sejumlah komoditas pertanian yang masuk ke Uni Eropa untuk dibuktikan berasal dari lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020, serta memiliki data geolokasi lengkap. Produk kayu dan furniture menjadi salah satu sektor yang paling terdampak, karena selama ini Indonesia merupakan salah satu eksportir utama produk kayu tropis ke pasar Uni Eropa.

Selain Indonesia, sejumlah negara berkembang lain juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka berpendapat bahwa regulasi ini berpotensi menjadi hambatan teknis perdagangan yang diskriminatif, karena tidak mempertimbangkan keterbatasan kapasitas teknis dan finansial pelaku usaha kecil di negara-negara produsen.

Di sisi lain, pihak Uni Eropa menegaskan bahwa penerapan EUDR penting untuk mengurangi jejak deforestasi global akibat konsumsi di Eropa, sekaligus mendorong praktik produksi yang lebih berkelanjutan. Namun, beberapa pejabat Uni Eropa juga mulai membuka peluang untuk melakukan penyesuaian administratif, termasuk skema sertifikasi atau pengakuan sistem legalitas nasional tertentu, guna meringankan beban produsen kecil.

Indonesia berharap proses dialog yang sedang berlangsung dengan Uni Eropa dapat menghasilkan skema yang lebih fleksibel dan bertahap, agar akses produk kayu dan furniture Indonesia ke pasar Eropa tetap terjaga, tanpa mematikan ekonomi pelaku usaha kecil di dalam negeri.


Antaranews, FinancialTimes

---

tentangkayu

Mari Belajar dan Berkembang Bersama Kami

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama