Dunia perdagangan internasional kembali bergejolak. Kali ini, kabar datang dari Amerika Serikat, saat Presiden Donald Trump mengumumkan penerapan tarif impor, khususnya untuk negara-negara Asia Tenggara sebesar 46% untuk produk furniture asal Vietnam, 49% untuk Cambodia, 32% untuk Indonesia, dan 24% untuk Malaysia.

Negara ASEAN merupakan eksportir penting bagi AS
Sebuah keputusan yang langsung mengguncang industri furniture kayu di Asia Tenggara, kawasan yang selama ini menjadi andalan dunia untuk suplai furniture berkualitas dengan harga kompetitif.
Vietnam: Raksasa yang Terguncang
Tidak bisa dipungkiri, Vietnam adalah pemain utama di industri ini. Sepanjang 2024, nilai ekspor furniture kayu Vietnam mencapai $8,4 miliar, dengan Amerika Serikat sebagai pasar utama. Kabar tarif ini pun langsung membuat pelaku industri di sana waspada. Banyak yang kini mulai menyusun ulang strategi ekspor dan mencari pasar alternatif ke Eropa, Jepang, Australia, bahkan ke sesama negara ASEAN.
Di tengah situasi ini, VIFA EXPO 2025 yang berlangsung pada bulan Maret yang lalu tetap berjalan sukses dengan lebih dari 650 perusahaan ikut serta. Pameran tersebut membuktikan bahwa pemain industri di Vietnam tidak tinggal diam. Tren keberlanjutan, efisiensi produksi, dan desain ramah lingkungan jadi fokus utama. Tapi, mau tak mau, ketergantungan terhadap pasar AS tetap menjadi titik lemah yang kini mulai dirasakan dampaknya.
Indonesia: Bergerak Cepat Melakukan Restrukturisasi
Indonesia, sebagai eksportir furniture kayu terbesar kedua di kawasan ini, juga merasakan tekanan. Namun, pemerintah Indonesia cukup sigap. Kementerian Perindustrian menggelontorkan anggaran Rp 7,5 miliar untuk program restrukturisasi mesin di sektor furniture. Selain itu, aturan-aturan yang selama ini dianggap menghambat produksi mulai dilonggarkan.
Ada juga langkah strategis lain, misalnya: mendorong pemanfaatan material alami seperti rotan, bambu, dan kayu lokal non-konvensional yang selama ini belum dimaksimalkan. Dengan tren furniture ramah lingkungan dan desain alami yang makin digemari global, langkah ini bisa jadi peluang besar bagi Indonesia keluar dari bayang-bayang pasar AS.
Malaysia: Antara Peluang dan Ketidakpastian
Malaysia, menurut kami, berada di posisi yang serba tanggung. Meskipun tidak dihantam tarif setinggi Vietnam, Malaysia tetap harus menghadapi tarif baru sebesar 24%. Angkanya memang lebih rendah, tapi tetap saja berisiko mengganggu stabilitas ekspor furniture mereka ke Amerika.
Di Muar, Johor, yang sudah lama dijuluki sebagai ibukotanya furniture di Malaysia, para produsen kini berlomba-lomba menyelesaikan pesanan ke AS sebelum tenggat waktu 90 hari sebelum tarif diberlakukan. Kami melihatnya sebagai peluang sesaat — semacam last minute window — sebelum badai benar-benar datang. Bahkan beberapa pabrik dilaporkan menambah jam kerja dan memaksimalkan kapasitas produksi demi mengejar pengiriman sebelum kenaikan tarif resmi berlaku.
Namun, di balik hiruk-pikuk itu, bayang-bayang ketidakpastian sudah terasa. Beberapa importir Amerika mulai meminta penundaan pengiriman, menunggu kejelasan lebih lanjut soal implementasi tarif. Artinya, walau sekarang pabrik sibuk, situasi setelah tenggat waktu diperkirakan akan jauh lebih sunyi.
Kalau Malaysia hanya sibuk mengejar peluang jangka pendek tanpa menyiapkan strategi diversifikasi pasar dan produk, mereka bisa terjebak di situasi yang sama seperti Vietnam dan Indonesia. Apalagi dengan gempuran produk furniture murah dari Tiongkok, yang belakangan ini makin agresif di pasar ASEAN, harga furniture Malaysia pun bisa tertekan dari dua sisi — tarif dan persaingan harga.
Malaysia sebenarnya punya modal bagus: keahlian produksi furniture berbahan kayu solid dan kayu olahan yang sudah diakui di pasar Eropa dan Timur Tengah. Kami kira ini saatnya industri di sana lebih serius menata portofolio pasar dan mengembangkan produk yang lebih punya nilai tambah, bukan hanya sekadar volume ekspor ke Amerika.
Karena jika tidak diterapkan, peluang sesaat ini hanya akan menjadi fatamorgana sebelum realitas tarif dan kompetisi ketat menghantam lebih keras di bulan-bulan mendatang.
Ancaman Ganda dari Tiongkok
Belum selesai persoalan tarif, Asia Tenggara kini menghadapi tantangan lain yang disebut sejumlah ekonom sebagai ‘China Shock 2.0’. Seiring melemahnya pasar ekspor ke Barat, Tiongkok membanjiri pasar negara berkembang — termasuk Asia Tenggara — dengan produk berharga murah, termasuk furniture.
Di Thailand dan Indonesia, dampaknya mulai terasa. Beberapa pabrik furniture lokal tutup, karyawan dirumahkan, dan harga bahan baku ikut bergejolak. Situasi ini membuat sejumlah negara mulai mempertimbangkan kebijakan proteksi industri agar pelaku lokal tetap bisa bertahan.
Harapan dari Teknologi
Meski tantangan berat, ada secercah harapan dari sisi teknologi. Pameran VietnamWood 2025 dan IFMAC WOODMAC Jakarta 2025 tahun ini diperkirakan akan memperkenalkan teknologi baru seperti mesin CNC berbasis AI, robot sanding otomatis, hingga sistem fabrikasi berbasis computer vision.
Teknologi ini bukan hanya soal efisiensi produksi, tapi juga soal bertahan di pasar global yang semakin kompetitif. Apalagi saat persaingan harga makin ketat akibat banjir barang murah dari Tiongkok, kualitas dan kecepatan produksi bisa jadi penentu hidup-matinya pabrik furniture di kawasan ini.
Saatnya ASEAN Mandiri
Tarif Trump dan gempuran produk Tiongkok seharusnya jadi alarm bagi industri furniture kayu Asia Tenggara. Ini saatnya pelaku industri kayu di Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan negara lain memikirkan ulang strategi jangka panjang: tidak bisa terus mengandalkan pasar AS, dan tidak bisa bersaing harga tanpa inovasi.
Diversifikasi pasar, adopsi teknologi canggih, dan optimalisasi potensi lokal seperti kayu alternatif, rotan, serta bambu harus jadi prioritas. Kalau tidak, Asia Tenggara yang selama ini disebut sebagai ‘pabrik furniture dunia’ bisa kehilangan tajinya.
Jika anda memiliki opini lain, silahkan tulis tanggapan anda pada kolom komentar

Negara ASEAN merupakan eksportir penting bagi AS
Sebuah keputusan yang langsung mengguncang industri furniture kayu di Asia Tenggara, kawasan yang selama ini menjadi andalan dunia untuk suplai furniture berkualitas dengan harga kompetitif.
Vietnam: Raksasa yang Terguncang
Tidak bisa dipungkiri, Vietnam adalah pemain utama di industri ini. Sepanjang 2024, nilai ekspor furniture kayu Vietnam mencapai $8,4 miliar, dengan Amerika Serikat sebagai pasar utama. Kabar tarif ini pun langsung membuat pelaku industri di sana waspada. Banyak yang kini mulai menyusun ulang strategi ekspor dan mencari pasar alternatif ke Eropa, Jepang, Australia, bahkan ke sesama negara ASEAN.
Di tengah situasi ini, VIFA EXPO 2025 yang berlangsung pada bulan Maret yang lalu tetap berjalan sukses dengan lebih dari 650 perusahaan ikut serta. Pameran tersebut membuktikan bahwa pemain industri di Vietnam tidak tinggal diam. Tren keberlanjutan, efisiensi produksi, dan desain ramah lingkungan jadi fokus utama. Tapi, mau tak mau, ketergantungan terhadap pasar AS tetap menjadi titik lemah yang kini mulai dirasakan dampaknya.
Indonesia: Bergerak Cepat Melakukan Restrukturisasi
Indonesia, sebagai eksportir furniture kayu terbesar kedua di kawasan ini, juga merasakan tekanan. Namun, pemerintah Indonesia cukup sigap. Kementerian Perindustrian menggelontorkan anggaran Rp 7,5 miliar untuk program restrukturisasi mesin di sektor furniture. Selain itu, aturan-aturan yang selama ini dianggap menghambat produksi mulai dilonggarkan.
Ada juga langkah strategis lain, misalnya: mendorong pemanfaatan material alami seperti rotan, bambu, dan kayu lokal non-konvensional yang selama ini belum dimaksimalkan. Dengan tren furniture ramah lingkungan dan desain alami yang makin digemari global, langkah ini bisa jadi peluang besar bagi Indonesia keluar dari bayang-bayang pasar AS.
Malaysia: Antara Peluang dan Ketidakpastian
Malaysia, menurut kami, berada di posisi yang serba tanggung. Meskipun tidak dihantam tarif setinggi Vietnam, Malaysia tetap harus menghadapi tarif baru sebesar 24%. Angkanya memang lebih rendah, tapi tetap saja berisiko mengganggu stabilitas ekspor furniture mereka ke Amerika.
Di Muar, Johor, yang sudah lama dijuluki sebagai ibukotanya furniture di Malaysia, para produsen kini berlomba-lomba menyelesaikan pesanan ke AS sebelum tenggat waktu 90 hari sebelum tarif diberlakukan. Kami melihatnya sebagai peluang sesaat — semacam last minute window — sebelum badai benar-benar datang. Bahkan beberapa pabrik dilaporkan menambah jam kerja dan memaksimalkan kapasitas produksi demi mengejar pengiriman sebelum kenaikan tarif resmi berlaku.
Namun, di balik hiruk-pikuk itu, bayang-bayang ketidakpastian sudah terasa. Beberapa importir Amerika mulai meminta penundaan pengiriman, menunggu kejelasan lebih lanjut soal implementasi tarif. Artinya, walau sekarang pabrik sibuk, situasi setelah tenggat waktu diperkirakan akan jauh lebih sunyi.
Kalau Malaysia hanya sibuk mengejar peluang jangka pendek tanpa menyiapkan strategi diversifikasi pasar dan produk, mereka bisa terjebak di situasi yang sama seperti Vietnam dan Indonesia. Apalagi dengan gempuran produk furniture murah dari Tiongkok, yang belakangan ini makin agresif di pasar ASEAN, harga furniture Malaysia pun bisa tertekan dari dua sisi — tarif dan persaingan harga.
Malaysia sebenarnya punya modal bagus: keahlian produksi furniture berbahan kayu solid dan kayu olahan yang sudah diakui di pasar Eropa dan Timur Tengah. Kami kira ini saatnya industri di sana lebih serius menata portofolio pasar dan mengembangkan produk yang lebih punya nilai tambah, bukan hanya sekadar volume ekspor ke Amerika.
Karena jika tidak diterapkan, peluang sesaat ini hanya akan menjadi fatamorgana sebelum realitas tarif dan kompetisi ketat menghantam lebih keras di bulan-bulan mendatang.
Ancaman Ganda dari Tiongkok
Belum selesai persoalan tarif, Asia Tenggara kini menghadapi tantangan lain yang disebut sejumlah ekonom sebagai ‘China Shock 2.0’. Seiring melemahnya pasar ekspor ke Barat, Tiongkok membanjiri pasar negara berkembang — termasuk Asia Tenggara — dengan produk berharga murah, termasuk furniture.
Di Thailand dan Indonesia, dampaknya mulai terasa. Beberapa pabrik furniture lokal tutup, karyawan dirumahkan, dan harga bahan baku ikut bergejolak. Situasi ini membuat sejumlah negara mulai mempertimbangkan kebijakan proteksi industri agar pelaku lokal tetap bisa bertahan.
Harapan dari Teknologi
Meski tantangan berat, ada secercah harapan dari sisi teknologi. Pameran VietnamWood 2025 dan IFMAC WOODMAC Jakarta 2025 tahun ini diperkirakan akan memperkenalkan teknologi baru seperti mesin CNC berbasis AI, robot sanding otomatis, hingga sistem fabrikasi berbasis computer vision.
Teknologi ini bukan hanya soal efisiensi produksi, tapi juga soal bertahan di pasar global yang semakin kompetitif. Apalagi saat persaingan harga makin ketat akibat banjir barang murah dari Tiongkok, kualitas dan kecepatan produksi bisa jadi penentu hidup-matinya pabrik furniture di kawasan ini.
Saatnya ASEAN Mandiri
Tarif Trump dan gempuran produk Tiongkok seharusnya jadi alarm bagi industri furniture kayu Asia Tenggara. Ini saatnya pelaku industri kayu di Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan negara lain memikirkan ulang strategi jangka panjang: tidak bisa terus mengandalkan pasar AS, dan tidak bisa bersaing harga tanpa inovasi.
Diversifikasi pasar, adopsi teknologi canggih, dan optimalisasi potensi lokal seperti kayu alternatif, rotan, serta bambu harus jadi prioritas. Kalau tidak, Asia Tenggara yang selama ini disebut sebagai ‘pabrik furniture dunia’ bisa kehilangan tajinya.
Jika anda memiliki opini lain, silahkan tulis tanggapan anda pada kolom komentar