Sertifikasi Produk Kayu


Uni Eropa dan Amerika saat ini sangat gencar memerangi usaha perusakan hutan (illegal logging) yang pada dasarnya memiliki dampak sangat besar terhadap pemanasan global. Berbagai peraturan telah dikeluarkan terkait dengan penggunaan kayu dan produk kayu yang diijinkan untuk dipasarkan di dua pasar furniture tersebut.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementerian Kehutanan juga mendukung dengan komitmen tinggi. Salah satu program untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari yaitu dengan program Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Lalu bagaimana cara kerja sertifikasi tersebut di depan para buyer/retailer di Eropa, Amerika dan negara maju lainnya?

Sertifikasi
Terutama di Eropa dan Amerika, mereka mewajibkan importirnya untuk melengkapi produk yang mereka impor dengan dokumen yang bisa menjelaskan dengan baik asal-usul kayu pada furniture. Oleh karena itulah para pembeli selalu mencari dan menanyakan pada pabrik furniture apakah mereka telah memiliki sertifikat tentang asal-usul kayu yang dipergunakan. Dengan memiliki sertifikat tersebut, produsen bisa menggunakan logo atau label pada produk mereka.

Logo pada packaging atau plat tempel menjadi cara paling mudah dikenal oleh para konsumen. Untuk bisa menggunakan logo atau tanda khusus dari lembaga sertifikasi, produsen harus melalui beberapa tahap audit dan perbaikan-perbaikan sistem produksinya sesuai panduan dari lembaga sertifikasi tersebut.


LEI - Sebuah standar yang dikembangkan oleh Lembaga Ecolabelling Indonesia untuk menilai bahwa produk kayu yang memilik label LEI berasal dari sumber yang dikelola dengan memperhatikan norma hidup, norma lingkungan dan norma sosial.
Sejauh yang diketahui penulis, LEI ini merupakan sistem sertifikasi produk kayu dari lembaga lokal Indonesia yang pertama kali diluncurkan. Hingga saat ini, sesuai website LEI, tercatat baru 3 perusahaan produsen furniture kayu di Indonesia yang telah memiliki sertifikat LEI.

SVLK - Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ini baru diluncurkan 2009 oleh Kementerian Kehutanan dan baru 50 perusahaan yang mengajukan permohonan. Biaya proses sertifikasi yang tidak murah menjadi kendala bagi sebagian pemohon yang berasal dari UKM. Sistem ini dibuat dalam salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk mengurangi pembalakan liar yang telah menjadi sorotan dunia.
Walaupun saat ini masih belum begitu dikenal oleh dunia internasional, ini menjadi langkah yang sangat baik bagi perkembangan industri kayu di Indonesia.

GFTN - Global Forest and Trade Network diluncurkan tahun 2003 oleh WWF. GFTN dalam hal ini tidak memberikan sertifikasi untuk mengunakan logo atau label pada produk. Dukungan yang diberikan kepada anggota GFTN berupa panduan dan jaringan pasar yang terhubung dengan WWF. Anggota GFTN terbuka bagi komunitas, perusahaan maupun organisasi yang memiliki andil besar dalam kelestarian hutan. Yang termasuk di dalamnya adalah perusahaan multinasional, pengelola hutan, perusahaan pengolah kayu dan produk, perusahaan distribusi, hingga peritel yang menjual produk kayu di pasar Eropa maupun Amerika Serikat.

FSC (Forest Stewardship Council) telah menjadi standar internasional sertifikasi kayu dan produk kayu. Setiap perusahaan yang memiliki sertifikat FSC bisa menggunakan logo atau label pada produknya. Penggunaannya bisa berupa leaflet, plat besi tempel atau cetakan pada carton packing. Seluruh rantai distribusi kayu dari pengelola hutan, distributor kayu, industri pengelola kayu hingga peritel yang menjual produk kayu tersebut ke konsumen harus memiliki sertifikat FSC sebelum bisa menerapkan label pada produk.
Di dalam logo harus dicantumkan kode khusus yang bisa dihubungkan ke nama perusahaan produsen. Audit dan pemeriksaan distribusi material pada sertifikat FSC memiliki proses yang panjang dan tidak mudah, sehingga setiap organisasi atau perusahaan yang ingin memiliki sertifikat FSC harus benar-benar mengikuti aturan yang dipandu oleh SmartWood.

TFT (The Forest Trust) yang sebelumnya bernama Tropical Forest Trust sejak 1999 berusaha untuk membantu para peritel dunia mendapatkan kayu yang berasal dari sumber resmi dan dari hutan yang dikelola dengan baik. TFT melakukan audit dan pemeriksaan berkala pada hutan yang telah memiliki sertifikat dari TFT dan menjembatani pasokan bahan baku ke pabrik industri kayu. Hampir sama dengan FSC, produsen yang telah menjadi anggota TFT dan membeli bahan baku kayu dari hutan yang telah diaudit oleh TFT bisa menggunakan logo atau label pada produk mereka.

Eko HIDAYAT

Profesional dalam industri kayu dan bisnis terkait furniture | Founder tentangkayu.com

1 Komentar

  1. Sertifikasi Hutan (SVLK ), merupakan upaya penekanan laju kerusakan Hutan oleh Pemerintah Indonesia, namun yang paling penting bagaimana pemerintah Indonesia memberi Insentif BAGI pemilik Sertifikat LK, apalagi jika UM berasal dari UKM atau kelompok pemerhati lingkungan,......

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama